Kisah Harun Al Rasyid dan Abu Nawas
Selasa, 24 Juli 2012 - Label: abu nawas, harun al rasyid, kisah - 0 Comments
Siapakah Sebenarnya Abu Nuwas (Abu Nawas)?
Konon pada zaman Khalifah Harun Al Rasyid –salah
satu khalifah Daulah Bani Abbasiyyah- hiduplah seorang pujangga yang bernama
Abu Nuwas (Abu Nawas). Khalifah mempunya hubungan dekat dengan Abu Nuwas ini,
sedangkan Abu Nuwas adalah seorang yang suka meminum minuman keras, bermain
dengan wanita, mendengarkan musik, berjoget, dan berdansa, serta perbuatan lain
semisalnya, sehingga khalifah pun banyak melakukan itu semua karena
kedekatannya dengan Abu Nuwas.
Kemasyhuran Kisah Ini
Kisah ini sangat masyhur di negeri nusantara dan mungkin juga di berbagai
belahan bumi Islam lainnya. Banyak komik yang ditulis, lalu dikonsumsi oleh
semua kalangan yang menggambarkan bagaimana bejatnya perbuatan khalifah ini
beserta teman karibnya Abu Nuwas. Sehingga kalau disebut di kalangan orang
banyak tentang Harun Al Rasyid, maka yang terbetik dalam bayangan mereka adalah
gambaran raja tanpa wibawa yang suka main musik dan wanita diiringi dengan
minum khamr (minuman keras). Jarang sekali di antara kaum muslimin mengetahui
siapa sebenarnya Khalifah Harun Al Rasyid kecuali dari cerita yang beredar ini.
Akar Cerita
Asal-usul utama cerita ini bersumber dari sebuah buku dongengg Alfu Lailatin wa
Lailah (cerita seribu satu malam). Buku ini dari lembar pertama sampai terakhir
hanyalah berisi dongengg. Dan yang namanya “dongengg” berarti ia tidak punya
asal-usul sanad yang terpercaya. Isinya pun hanyalah khayalan belaka; misalnya,
cerita tentang Ali Baba dengan perampok, ksiah Aladin dengan lampu ajaibnya,
begitu pula cerita tentang Abu Nuwas dengan Harus Al Rasyid.
Buku ini asal-usulnya adalah dongeng yang berasal dari bangsa India dan Persia.
Lalu dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab pada sekitar abad ketiga Hijriah.
Kemudian ada yang menambahi beberapa ceritanya sehingga sampai masa Daulah
Mamalik.
Buku ini sama sekali bukan buku sejarah, dan sama sekali tidak bisa menjadi
landasan untuk mengetahui keadaan umat tertentu.
Oleh karena itu, para ulama sepakat untuk men-tahdzir (memperingatkan) atas
buku ini dan melarang umat untuk membaca dan menjadikannya sebagai landasan
sejarah. Di antara mereka adalah Al-Ustadz Anwar Al Jundi yang berkata, “Buku
Alfu Lailatin wa Lailah adalah sebuah buku yang campur baur tanpa penulis. Buku
ini disusun dalam rentang waktu yang bermacam-macam. Kebanyakan isinya
menggambarkan tentang keadaan sosial masyarakat sebelum kedatangan Islam di
negeri persia, India, dan berbagai negeri paganis lainnya.” Ibnu Nadim dalam
Al-Fahrosat berkata tentang buku ini, “Itu adalah buku yang penuh dengan
kedunguan dan kejelekan.”
Dan masih banyak lainnya. Silakan melihat apa yang dipaparkan oleh Syaikh
Masyhur Hasan Salman dalam Kutubun Hadzdzara minha Ulama, 2:57.
Syaikh Shalih Al Fauzan pernah ditanya, “Sebagian buku sejarah terutama buku
Alfu Lailatin wa Lailah menyebutkan bahwa Khalifah Harun Al Rasyid adalah
seorang yang hanya dikenal sebagai orang yang suka bermain-main, minum khamr
dan lainnya. Apakah ini benar?”
Beliau menjawab: “Ini adalah kedustaan dan tuduhan yang dihembuskan ke dalam
sejarah Islam. Buku Alfu Lailatin wa Lailah adalah sebuah buku yang tidak boleh
dijadikan sandaran. Tidak selayaknya seorang muslim menyia-nyiakan waktunya
untuk menelaah buku tersebut. Harun Al Rasyid dikenal sebagai orang yang Shalih
dan istiqomah dalam agamanya, serta sungguh-sungguh dan bagus dalam mengatur
masyarakatnya. Beliau satu tahun menunaikan haji dan tahun berikutnya berjihad.
Ini adalah sebuah kedustaan yang terdapat ke dalam buku ini. Tidak layak bagi
seorang muslim untuk membaca buku kecuali yang ada faidahnya, seperti buku
sejarah yang terpercaya, buku tafsir, hadis, fiqih, dan aqidah yang dengannya
seorang muslim akan bisa mengetahui urusan agamanya. Adapun buku yang tidak
berharga, tidak selayaknya seorang muslim terutama penuntut ilmu menyia-nyiakan
waktunya dengan membaca buku seperti itu.” (Nur Ala Darb, Fatawa Syaikh Shalih
Fauzan Hal. 29)
Hakikat Cerita Ini
Dari keterangan di atas, tiada lagi keraguan bahwa kisah tentang Khalifah Harun
Al Rasyid seperti yang digambarkan tadi adalah sebuah kedustaan. Banyak sekali
para ulama yang menyatakan bahwa itu adalah sebuah kedustaan, di antara mereka
ialah:
- Syaikh Shalih Fauzan, sebagaimana nukilan dari beliau di atas.
- Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin, beliau berkata: “Ini
merupakan kedustaan yang jelas dan kezaliman yang nyata…” (Fatawa Islamiyyah,
4:187)
- Syaikah Salim bin Id Al-Hilali berkata, “Kita harus membersihkan
sejarah Islam dari hal-hal yang digoreskan oleh para pemalsu dan pendusta
beserta cucu-cucu mereka bahwa sejarah Islam merupakan panggung anak kecil,
musik, dan nyanyian. (Mereka gambarkan) para khalifah kaum muslimin sebagaimana
yang dilakukan oleh para perusak tersebut dalam menodai sejarah Khalifah Harun
Al Rasyid dan yang lain.” (Al-Jama’at Islamiyyah, Hal. 430)
Atas dasar ini, maka alangkah baiknya kalau kita sedikit mengetahui perjalanan
hidup kedua orang ini, agar kita bisa mengetahui siapa sebenarnya Abu Nuwas
juga siapa dan bagaimana sebenarnya Khalifah Harun Al Rasyid.
Siapakah Abu Nuwas (Abu
Nawas)?
Dia adalah Abu Ali Hasan bin Hani’ al-Hakami, seorang penyair yang sangat
masyhur pada zaman Bani Abbasiyyah.
Kepiawaiannya dalam menggubah qoshidah syair membuat dia sangat terkenal di
berbagai kalangan, sehingga dia dianggap sebagai pemimpin para penyair di
zamannya.
Namun amat disayangkan, perjalanan hidupnya banyak diwarnai dengan kemaksiatan,
dan itu banyak juga mewarnai syair-syairnya. Sehingga saking banyaknya dia
berbicara tentang masalah khamr, sampai-sampai kumpulan syairnya ada yang
disebut khamriyyat.
Abu Amr Asy-Syaibani berkata, “Seandainya Abu Nuwas tidak mengotori syairnya
dengan kotoran-kotoran ini, niscaya syairnya akan kami jadikan hujjah dalam
buku-buku kami.”
Bahkan sebagian orang ada yang menyebutnya sebagai orang yang zindiq meskipun
pendapat ini tidak disetujui oleh sebagian ulama. Di antara yang tidak
menyetujui sebutan zindiq ini untuk Abu Nuwas adalah Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir
dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (14:73), ketika menyimpulkan tentang kehidupan
Abu Nuwas beliau berkata, “Kesimpulannya, para ulama banyak sekali menceritakan
peristiwa kehidupannya, juga tentang syair-syairnya yang mungkar,
penyelewengannya, kisahnya yang berhubungan dengan masalah khamr, kekejian,
suka dengan anak-anak kecil yang ganteng serta kaum wanita sangat banyak dan
keji, bahkan sebagian orang menuduhnya sebagai pezina. Di antara mereka juga
ada yang menuduhnya sebagai seorang yang zindiq. Di antara mereka ada yang
berkata: ‘Dia merusak dirinya sendiri.’ Hanya saja, yang tepat bahwa dia
hanyalah melakukan berbagai tuduhan yang pertama saja, adapun tuduhan sebgian
orang yang zindiq, maka itu sangat jauh dari kenyataan hidupnya, meskipun dia
memang banyak melakukan kemaksiatan dan kekejian.”
Akan tetapi, walau bagaimanapun juga disebutkan dalam buku-buku sejarah bahwa
dia bertaubat di akhir hayatnya; semoga memang demikian dan menunjukkan
taubatnya adalah sebuah syair yang ditulisnya menjelang wafat:
Ya Allah, jika dosaku teramat sangat banyak
namun saya tahu bahwa pintu maaf-Mu lebih besar
Saya berdoa kepada-Mu dengan penuh tadharru’ sebagaimama
Engkau perintahkan
Lalu jika Engkau menolak tangan permohonanku, lalu siapa
yang akan merahmati-ku
Jika yang memohon kepada-Mu hanya orang yang baik-baik saja
Lalu kepada siapakah orang yang jahat akan memohon
Saya tidak mempunyai wasilah kepada-Mu kecuali hanya sebuah
pengharapan
Juga bagusnya pintu maaf-Mu kemudian saya pun seorang yang
muslim
Semoga Allah menerima taubatnya dan memaafkan kesalahannya, karena bagaimanapun
juga dia mengakhiri hidupnya dengan taubat kepada Allah. Dan semoga kisah yang
diceritakan oleh Ibnu Khalikan dalam Wafyatul-A’yan 2:102 benar adanya dan
menjadi kenyataan. Beliau menceritakan dari Muhammad bin Nafi berkata, “Abu
Nuwas adalah temanku, namun terjadi sesuatu yang menyebabkan antara aku dengan
dia tidak saling berhubungan sampai aku mendengar berita kematiannya. Pada
suatu malam aku bermimpi bertemu dengannya, kukatakan, ‘Wahai Abu Nuwas, apa
balasan Allah terhadapmu?’ Dia menjawab, ‘Allah mengampuni dosaku karena
beberapa bait syair yang kututlis saat aku sakit sebelum wafat, syair itu
berada di bawah bantalku.’ Maka saya pun mendatangi keluarganya dan menanyakan
bantal tidurnya dan akhirnya kutemukan secarik kertas yang bertuliskan: … (lalu
beliau menyebutkan bait syair di atas).”
Setelah mengetahui sekelumit tentang Abu Nuwas, marilah kita beranjak utuk
membahas siapakah sebenarnya Khalifah Harun Al Rasyid.
Beliau adalah Amirul-Mukminin Harun Al Rasyid bin Mahdi al-Qurasyi al-Hasyimi.
Beliau adalah salah satu Khalifah Bani Abbasiyyah, bahkan pada masa beliaulah
Bani Abbasiyyah mencapai zaman keemasannya.
Beliau dikenal sebagai raja yang dekat dengan ulama, menghormati ilmu, dan
banyak beribadah serta berjihad. Disebutkan dalam berbagai buku sejarah yang
terpercaya bahwa beliau selalu berhaji pada suatu tahun dan tahun berikutnya
berjihad, begitulah seterusnya.
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Perjalanan hidup beliau sangat bagus. (Beliau)
seorang raja yang paling banyak berjihad dan menunaikan ibadah haji. Setiap
hari beliau bershodaqoh dengan hartanya sendiri sebanyak seribu dirham. Kalau
pergi haji beliau juga menghajikan seratus ulama dan anak-anak mereka, dan
apabila beliau tidak pergi haji, maka beliau menghajikan tiga ratus orang.
Beliau suka sekali bershodaqoh. Beliau mencintai para ulama dan pujangga.
Cincin beliau bertuliskan kalimat La ilaha ilallah, beliau mengerjakan shalat
setiap harinya seratus rakaat sampai meninggal dunia. Hal ini tidak pernah
beliau tinggalkan kecuali kalau sedang sekit.” (Al-Bidayah wa Al-Nihayah,
14:28)
Imam Adz-Dzahabi berkata, “Ammar bin Laits al-Wasithi berkata, ‘Saya mendengar
Fudhail bin Iyadh berkata, ‘Tidak ada kematian seorang pun yang lebih memukul
diriku melebihi kematian Amirul-Mukminin Harun Al Rasyid. Sungguh saya ingin
seandainya Allah menambah umurnya dengan sisa umurku.’ Ammar berkata,
‘Perkataan beliau ini terasa berat bagi kami, namun tatkala Harun telah
meninggal dunia, muncullah fitnah, khalifah setelahnya yaitu Al-Makmun memaksa
orang-orang untuk meyakini bahwa Alquran makhluk. Saat itu kami mengatakan,
‘Syaikh (Fudhail) lebih mengetahui tentang apa yang beliau katakan’.”
Beliau sangat keras terhadap orang yang menyimpang dari sunah dan berusaha menentangnya.
Pada suatu ketika Abu Mu’awiyah menceritakan kepada beliau sebuah hadis dari
Abu Hurairah bahwa Nabi Adam dan Musa berdebat, maka paman Khalifah Harun Al
Rasyid berkata, “Wahai Abu Mu’awiyyah, kapan keduanya bertemu?” Maka Khalifah
sangat marah seraya berkata, “Apakah engkau menentang hadis Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam? Ambilkan sebilah pedang dan tempat pemotongan
kepala.” Maka segeralah yang beliau minta itu didatangkan. Orang-orang yang
hadir saat itu pun memintakan maaf untuk paman beliau tersebut. Berkatalah
Harun Al Rasyid, “Ini adalah perbuatan zindiq.” Akhirnya beliau memerintahkan
untuk memenjarakannya. Sebagian orang juga pernah bercerita, “Saya masuk
menemui Harun Al Rasyid dan saat itu ada seseorang yang barusan dipenggal kepalanya
dan algojo sedang membersihkan pedangnya. Maka Haru Al Rasyid berkata, ‘Saya
membunuhnya karena dia berkata bahwa Alquran itu makhluk’.”
Beliau sangat mencintai nasihat yang mengingatkan diri pada hari akhirat.
Al-Ashma’i berkata, “Pada satu hari Harun Al Rasyid memanggilku. Saat itu dia
menghiasi istana, membuat hidangan yang banyak dan lezat, lalu dia memanggil
Abu Al-Atahiyyah, lalu Harun berkata kepadanya, “Sifatilah kenikmatan dan
kesenangan hidup kami.” Maka Abu Al Athiyah menyenandungkan sebuah syair:
Hiduplah semaumu
Di bawah naungan istana nan megahmu
Engkau berusaha mendapatkan apa yang engkau senangi
Baik pada waktu sore maupun pagi
Namun, apabila jiwa tersengal-sengal
Karena sempitnya pernapasan dalam dada
Saat itu berulah engkau tau
Bahwa selama ini engkau sedang tertipu
Harun Al Rasyid pun langsung menangis sejadi-jadinya, sehingga Fadhi bin Yahya
berkata, “Amirul-Mukminin memanggilmu agar engkau bisa membuatnya senang,
tetapi engkau malah membuatnya susah.” Maka Harun Al Rasyid berkata, “Biarkan
dia, dia melihat kita sedang kebutaan dan dia tidak ingin kita semakin buta.”
Suatu saat lainnya, Harun Al Rasyid memanggil Abu Al Atahiyyah lalu berkata,
“Nasihatilah saya dengan sebuah bait syair.” Maka Abu Al Athiyah berkata,
Jangan engkau merasa aman dari kematian sekejap mata pun
Meski engkau mempunyai para penjaga dan para pasukan
Ketahuilah bahwa panah kematian pasti tepat sasaran
Meski bagi yang membentengi diri darinya
Engkau ingin selamat namun tidak mau mengikuti jalannya
Bukankan sebuah bahtera tidak akan mungkin berlayar di jalan
raya
Begitu mendengarnya, Harun Al Rasyid pun langsung jatuh
pingsan.
Inilah sekilas tentang kehidupan Khalifah Harun Al Rasyid meskipun kita
mengakui bahwa sebagai manusia biasa beliau pun banyak memiliki cacat dan
kemaksiatan. Namun keutamaan dan kebaikan beliau jauh melebihi cacat yang
beliau kerjakan. Sampai-sampai Syaikh Abu Syauqi Khalil menulis buku berjudul
Harun Al Rasyid Amirul-Khulafa wa Ajallu Mulukid-Dunya (Harun Al Rasyid
Pemimpin Para Khalifah dan Raja Dunia Teragung) yang mana buku ini banyak
dipuji oleh Syaikh Masyhur Salman dalam beberapa tempat di dalam buku Kutubun
Hadzdzara minha Ulama.
(Lihat tentang kehidupan Harun Al Rasyid dengan agak terperinci pada Al-Bidayah
wa Al-Nihayah, 14:27-48, Siyar A’lamin Nubala, 8:163-188)
Wallahu a’lam.
Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 5 Tahun Ke-8 1429H/2008 M
This entry was posted on 01.38
and is filed under
abu nawas
,
harun al rasyid
,
kisah
.
You can follow any responses to this entry through
the RSS 2.0 feed.
You can leave a response,
or trackback from your own site.
0 komentar:
Posting Komentar